Di mana Allah vs teori makhluk 4-5 dimensi

Ruang empat dimensi

Negara2 maju sudah lama memulai riset tentang makhluk 4 dimensi dan makhluk 5 dimensi.

Kalau Anda simpan seekor semut di sebatang lidi, dia hanya akan bisa jalan maju mundur. Ini contoh makhluk 1 dimensi.

Kalau Anda simpan seekor semut di sebuah kertas putih yang lebar di lantai, maka dia akan bisa berjalan maju mundur kiri kanan. Ini contoh makhluk 2 dimensi.

Lalu kita manusia, kita adalah contoh makhluk 3 dimensi, yang bisa bergerak maju mundur kiri kanan atas bawah.

Lalu makhluk 4 dimensi itu apa? Itu adalah makhluk yang bisa bergerak maju mundur kiri kanan atas bawah besok kemarin. Di level ini, pertanyaan “di mana” sudah tidak tepat lagi digunakan, seharusnya “di mapan” yaitu di mana dan kapan.

Lalu makhluk lima dimensi adalah makhluk yang bisa memindahkan makhluk lain yang ada di dimensi bawahnya.

Jadi kalau sekarang ummat Islam masih mempertanyakan “di mana Allah?”, maka pertanyaan ini akan ketinggalan jaman, seharusnya minimal diganti menjadi “di mapan Allah?”

Ini seperti perdebatan tentang bumi Datar, lagi2 hanya kelompok salafi yang “hanya mengandalkan dalil, dan mengabaikan iptek”. Akibatnya, ummat Islam mendapat malu dan makin jatuh level teknologinya.

Sebaiknya pemikiran “hanya mengambil dalil salaf” ini dilengkapi dengan melihat kemajuan teknologi saat ini, karena pendapat para salaf dulu juga pastinya dibatasi oleh level teknologi saat itu.

Kalau tidak mau, ya silakan terus menggunakan teori yang akan ketinggalan jaman, seperti teori bumi datar, teori di mana Allah, atau lainnya. 😬

Percayalah, Islam yang benar pasti yang sejalan dengan teknologi, bukan yang mengabaikan teknologi.

Himbauan di awal Ramadhan untuk semua yang beragama Islam

Kita sudah memasuki bulan Ramadhan, dan mulai hari ini kita bekerja lebih pagi, istirahat siang jam 12:00 sampai jam 12:30, dan selesai kerja lebih cepat.

Terutama sekali selama di bulan Ramadhan ini, tolong dijaga agar jangan sampai sholat dan puasa kita membuat kita malah mengabaikan pekerjaan kita.
Benar bahwa jangan sampai kita mengabaikan ibadah2 kita (sholat dan puasa harus tetap kita jaga, jangan sampai terlewat atau terabaikan), tapi juga jangan sampai ibadah-ibadah kita malah membuat kualitas kerja kita menjadi lebih rendah dibanding yang tidak sholat atau yang tidak puasa.

Ibadah2 yang wajib, tetap harus kita lakukan.
Ibadah2 yang sunnah, tolong dijaga agar tidak mengganggu pekerjaan yang hukumnya juga wajib.
Dan pelaksanaan ibadah2 wajib juga tolong diatur dan diefisiensikan agar tidak mengganggu pekerjaan yang hukumnya juga wajib.

Contohnya:

  • Sebisa mungkin, tolong gunakan waktu istirahat siang yang 30 menit itu benar2 untuk istirahat dan sholat, bukan hanya untuk istirahat saja (lalu sholat-nya nambah lagi istirahat di jam kerja). Ini bisa mengurangi kualitas kerja kita.
  • Kalau mau mengaji, sebaiknya tidak di jam kerja, karena mengaji itu sunnah sedangkan bekerja itu wajib. Usahakan agar mengaji di luar jam kerja.
  • Kalau mau sholat sunnah, sebaiknya di jam istirahat, atau kalaupun di jam kerja tolong dibuat seefisien mungkin, karena sholat sunnah itu sunnah dan bekerja itu wajib.
  • Kalau mau sholat tarawih, ini bagus, tolong dijaga sholat tarawihnya. Tapi kalau ternyata harus bekerja di jam sholat tarawih, tolong diingat lagi bahwa bekerja itu wajib sedangkan sholat Tarawih itu sunnah. Jangan sampai hal yang sunnah malah mengalahkan yang wajib.

Karena dalam Islam, ibadah yang wajib itu wajib dan bekerja juga wajib.
Sedangkan ibadah yang sunnah itu sunnah.
Hal-hal yang sunnah tidak boleh mengalahkan yang wajib.

Ini semua untuk menunjukkan bahwa kita orang Islam adalah orang2 yang benar agama-nya, dan juga bagus kualitas kerja-nya.

Dan terakhir, jangan sampai juga di Ramadhan ini kita malah mengabaikan ibadah2 wajib kita, terutama sekali sholat dan puasa. Jangan sampai kita menunda-nunda sholat, sehingga akhirnya malah tidak bisa sholat. Jangan sampai kita tidak memasukkan jam sholat kita dalam perencanaan perjalanan kita atau pekerjaan kita sehingga akhirnya malah tidak bisa sholat. Dan jangan sampai pula kita mengabaikan puasa kita hanya karena alasan yang kita buat-buat sendiri.
Orang Islam yang baik itu yang baik sholat-nya, dan baik puasanya. Setelah itu adalah orang yang baik kerjanya.
Jangan sampai malah terbalik, kita bekerja tapi malah tidak sholat, atau kita bekerja dan berpuasa tapi malah tidak sholat.

Mari kita jadikan Ramadhan ini sebagai bahan latihan bagi diri kita, untuk menjaga hal-hal yang wajib, dan untuk mengatur hal-hal yang sunnah agar tidak mengalahkan yang wajib, dan juga untuk menunjukkan bahwa orang Islam yang benar itu adalah orang yang bagus kualitas kerja-nya.

Salam.

MASJID KAMPUS SIBUK SHOLAWATAN

Masjid kampus terkenal di salah kampus ternama di Indonesia, saya lihat sekarang “rajin sholawatan”. Bahkan di saat ada puluhan orang sedang melakukan sholat di masjid itu pun, sholawatan tetap dilakukan dengan suara keras, menggunakan speaker dalam dan speaker luar.

Ini bukan masalah boleh sholawatan atau tidak, tapi masalah kepantasan saja. Apa pantas masjid kampus sibuk dengan sholawatan?

Di kampus ternama seperti ini, seharusnya yang dikembangkan adalah Islam yang berfikiran maju ke depan, yang mau memikirkan masalah2 ummat, mulai dari masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, dan juga iptek. Karena negara2 Islam selamanya akan menjadi negara dunia ketiga, kalau para mahasiswanya hanya dibekali dengan sholawatan saja.

Apakah sholawatan itu salah? Tidak, tidak salah.

Tapi sholawatan berjam2 di masjid, dengan menggunakan speaker dalam dan speaker luar, yang suaranya sampai bisa terdengar dari jarak puluhan atau ratusan meter jauhnya, di dalam masjid kampus ternama di Indonesia, dan di saat itu di masjid itu ada puluhan orang sibuk sholat bergantian (karena acara wisuda baru selesai), sedangkan yang sholawatan hanya ada lima orang dan mereka itu yang pegang mic, dan suaranya juga bising di dalam masjid (padahal banyak yang sholat di situ), apa seperti ini pantas?

Itu beberapa bulan lalu.

Dua minggu lalu mampir lagi ke masjid tsb, lagi2 kegiatannya sama. Sibuk sholawatan.

Mau dibawa kemana kah anak2 muda kita ini?

Kampus ternama adalah pusat pembinaan generasi muda yang akan memimpin negara kita ini. Kita butuh orang2 yang bisa banyak berusaha, bukan hanya bisa banyak berdoa. Ya, berdoa itu penting, tapi ini bisa dilakukan oleh semua orang. Dan yang harus dilakukan oleh para anak muda di kampus2 ternama adalah berusaha dan berusaha. Karena tidak semua orang bisa berusaha.

Seperti kasus Perang Palestina vs Israel saat ini. Ratusan juta ummat Islam mungkin sibuk berdoa untuk Palestina, tapi berapa orang yang mau dan mampu untuk berusaha membantu Palestina?

Kampus adalah pusat pembinaan anak2 muda, agar mereka bisa dan sibuk berusaha, bukan malah bisa dan sibuk berdoa.

Untuk para pemuda di kampus ternama, berdoalah secukupnya, dan berusahalah sebanyak2-nya. Karena sudah ada banyak orang yang tidak bisa berusaha, akhirnya hanya sibuk berdoa. Yang seperti ini boleh, tapi inilah selemah2nya iman, dan bukan ini yang harus diajarkan pada anak2 muda kita, apalagi para mahasiswa di kampus ternama.

Muslim pinggiran: tidak ngerti syahadat.

Muslim pinggiran seperti kita2 ini, pasti ilmunya minim.
Sholat juga mungkin masih malas-malasan.

Tapi minimal, syahadat kita harus benar.

Syahadat pertama kita itu Laa ilaaha illa Allah.
Artinya, tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada yang kita sembah selain Allah, tidak ada yang kita pentingkan selain Allah.

Kalau kita mengaku Islam tapi masih menomorduakan agama atau menomorduakan aturan Allah, itu artinya kita belum ngerti apa itu makna syahadat. Artinya, sebenarnya kita ini belum Islam.

Contoh mudahnya, kasus Al-Maidah 51 kemarin.
itu ayat Allah, yang mungkin saja bertentangan dengan aturan lain.
Ini ujian untuk syahadat kita, mau menomorsatukan aturan Allah? atau mau menomorsatukan aturan lainnya?

Kalau aturan Allah masih kita nomorduakan,
artinya kita belum lulus syahadat,
dan itu artinya, sebenarnya kita ini belum sah jadi orang Islam.

Note: ini baru makna syahadat ya, tapi inilah pintu gerbang untuk menjadi orang Islam.

Mari kita pahami syahadat kita dengan benar,
dengan konsekuensinya, jadi bukan hanya sekedar ucapan di mulut saja.

Muslim Pinggiran: Yang paling penting apa?

Kalau kita masih malas2 sholat, percayalah, kita ini muslim pinggiran.

Satu hal yang harus kita perhatikan sebagai muslim pinggiran adalah, modal kita untuk masuk surga nanti apa?

Modal minimal kita adalah syahadat,
dan syahadat pertama kita adalah Laa ilaaha illa Allah.
Arti mudahnya adalah: yang paling penting itu Allah.

Jadi kalau kita mau masuk surga, maka kita harus punya prinsip hidup “yang paling penting itu adalah Allah”.

Artinya, ketika ada benturan antara aturan Allah dengan aturan lainnya,
di situlah keislaman kita diuji: sebenarnya kita ini mau jadi orang Islam atau tidak?

Kalau kita masih menomorsekiankan aturan Allah,
percayalah, bisa jadi sebenarnya label “Muslim Pinggiran” pun sudah tidak pantas untuk kita lagi.

Tapi kalau kita masih mau menomorsatukan aturan Allah,
maka berarti kita masih selamat sebagai muslim pinggiran,
meskipun kita ada di emperan agama kita ini.

Mari tetap belajar.

Libur Maulid Muslim Pinggiran

Hari ini kita libur Maulid.
Yang diperingati kelahirannya hari ini adalah Muhammad bin Abdullah, nabi terakhir untuk seluruh ummat manusia.

Kalau kita tidak percaya bahwa Muhammad bin Abdullah adalah nabi untuk seluruh ummat manusia, berarti ada yang salah dalam pemahaman Islam kita. Artinya, kita adalah muslim pinggiran yang ilmunya ada di emperan. Hati2, bisa jatuh ke jurang.

Dan kalau kita merasa bahwa Muhammad itu adalah orang biasa, bukan nabi yang mendapat wahyu dari Allah, maka sudah jelas, meskipun kita ngakunya Islam, tapi sebenarnya kita bukan di emperan lagi melainkan benar2 sudah masuk ke jurang. Kita tidak pantas menggunakan nama “Muslim”.

Kalau hal seperti ini kita tidak tahu, artinya saat ini kita mungkin berada di ujung emperan atau mungkin sudah di dalam jurang, dan kita tidak menyadarinya.

Harusnya kita belajar lagi, bukan malah diam saja. Ini kalau kita memang masih mau dipanggil Muslim.

Salam

Depok, 12 Robiul Awwal 1445 H

Kita muslim pinggiran?

Kalau kita masih malas sholat, mungkin kita ini adalah muslim pinggiran.
Kalau kita masih malas mengaji, mungkin kita ini adalah muslim pinggiran.
Kalau kita ngaku islam tapi sholatnya bolong2, atau hanya seminggu sekali, atau malah tidak pernah sholat sekali, maka jelas kita adalah muslim pinggiran.

Untuk muslim pinggiran seperti kita ini, percayalah, selagi kita percaya bahwa Allah itu Tuhan kita, dan bahwa Nabi Muhammad itu adalah nabi kita, maka insya Allah kita akan tetap berhak mendapat gelar muslim, meskipun kita ada di emperan.
Untuk kita-kita yang berada di area ini, marilah kita banyak berdoa agar kita bisa menjadi muslim yang lebih baik lagi.

Tapi ada satu hal yang bisa membuat kita malah makin celaka, disebabkan karena kita adalah muslim pinggiran.
Hal itu adalah: muslim pinggiran seperti kita ini, biasanya ilmunya mepet2 atau bahkan mungkin nol.
Paling aman, kita ikut orang yang kita lihat bagus agamanya.
Paling bahaya, kalau kita malah ikut orang yang justru makin menjauhkan diri kita dari islam.

Artinya, hal yang paling berbahaya bagi kita adalah: kalau kita salah milih orang!

Bagaimana caranya agar kita tidak salah milih orang?

Jawabannya adalah:

Yang pertama, lihat dulu, orang tersebut anti agama atau tidak?
Agama kita jelas-jelas mengajarkan Laa ilaaha illa Allah, artinya, yang paling dinomorsatukan itu adalah Allah saja.
Jadi kalau ada orang yang mengatakan bahwa “yang paling dinomorsatukan adalah budaya (misalnya)”, sudah jelas, ini adalah orang yang akan membuat kita makin jauh dari agama. Tinggalkan.
Atau kalau ada orang yang selalu bilang “jangan bawa2 agama”, nah ini, jelas. Tinggalkan.

Yang kedua, lihat dulu, orang tersebut terlihat islami atau tidak?
Kalau kesehariannya tidak pernah bicara tentang Islam, tapi mendekati pemilu tiba-tiba tampil wudhu dan sholat di TV, maka ini lampu kuning. Hati-hati, orang seperti ini, bisa jadi akan menipu kita, agar kita menyangka bahwa di adalah muslim yang baik. Lebih baik kita cari calon lain.
Karena kalau kita salah pilih, maka kita akan menjatuhkan diri kita pada dosa yang jauh lebih besar lagi.

Yang ketiga, setelah itu, baru kita lihat prestasi-prestasi lainnya.
Di bagian ini, silakan gunakan patokan masing-masing.
Pilihlah yang terbaik, tapi setelah nomor 1 dan 2 di atas dipenuhi.

Penutup,
ingat, kita mungkin adalah muslim pinggiran yang minim ilmu agama.
Dengan kondisi seperti ini, kita mungkin masih tertolong kalau kita diam atau “tidak salah dalam memilih barisan”.
Yang parah itu adalah, kalau kita salah milih barisan.

Di zaman nabi, apa ada muslim pinggiran yang akhirnya dihukumi sebagai musuh Islam?
Wow, ada, dan banyak.

Contohnya adalah orang2 yang murtad setelah nabi kita wafat.
Mereka adalah orang2 muslim pinggiran, bisa jadi seperti kita saat ini.
Lalu setelah nabi wafat, mereka akhirnya memilih untuk mengikuti orang yang salah, karena mereka tidak paham apa itu Islam yang benar.
Bisa jadi mereka juga sebenarnya sholat, meskipun bolong-bolong. Hal yang seperti ini masih dimaafkan.
Tapi ketika mereka ikut di barisan yang salah, dan malah memusuhi para sahabat nabi, akhirnya mereka dikategorikan sebagai orang-orang yang murtad.

Sekali lagi, kita muslim pinggiran atau bukan?

Kalau bukan, ya bagus.

Kalau iya, sebaiknya kita lihat lagi panduan di atas.

salam

Depok, 27 Sept 2023

Ayat mana yang mewajibkan kita melihat bulan?

Penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, kadang memberikan hasil yang tidak tepat.

Seperti potongan ayat ini:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ

[Surah Al-Baqarah: 185]

Banyak yang mengatakan bahwa ini artinya kita harus melihat bulan.

Salah satu hal utama yang mungkin menjadi penyebab munculnya pemahaman ini adalah, karena kata “syahro” di atas diartikan dengan “bulan”. Ya, ini memang artinya bulan, tapi bulan di sini maksudnya “month”, bukan “moon”.

Inilah keterbatasan kosakata dalam bahasa Indonesia. Syahru (month) dan Qomar (moon), dua-duanya diartikan dengan “bulan”. Padahal artinya tidak sama. Yang pertama (syahru/month) adalah bulan dalam artian waktu (seperti bulan Januari, Februari, Ramadhan, Dzulhijjah atau lainnya), dan yang kedua (Qomar/moon) adalah bulan yang ada di langit, yang mengelilingi Bumi.

Potongan ayat di atas menggunakan kata “syahro” (bentuk objek dari kata “syahru”), maka artinya ayat itu sebenarnya tidak menyuruh kita untuk melihat bulan (Qomar) di langit, tapi menyuruh kita untuk melakukan sesuatu di saat kita ada di bulan (syahru) itu.

Terjemahan Kemenag juga menjelaskan seperti itu.

Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah.

Terjemahan bahasa Inggris versi Yusuf Ali yang merupakan salah satu terjemahan yang banyak dipakai juga menyatakan hal yang sama:

So everyone of you who is present (at his home) during that month should spend it in fasting.

Dua terjemahan ini semuanya tidak menyuruh kita untuk melihat bulan (Qomar), tapi menyuruh kita untuk melakukan sesuatu (yaitu puasa) di bulan (Syahru) tersebut, dan penekanannya adalah “pada siapa saja yang saat itu bermukim di negaranya atau tidak dalam keadaan safar”.

Sekarang, mari kita lihat tafsirnya.

Yang pertama, tafsir Ibnu Katsir yang banyak dijadikan referensi di Indonesia:

هذا إيجاب حتم على من شهد استهلال الشهر أي كان مقيما في البلد حين دخل شهر رمضان ، وهو صحيح في بدنه أن يصوم لا محالة

Ini adalah kewajiban yang mengharuskan orang yang menyaksikan awal bulan, dan dia tinggal di negaranya ketika bulan Ramadhan dimulai, dan dia sehat badannya, untuk berpuasa.

Lihatlah, tafsir ini juga menyuruh “untuk berpuasa” pada siapa saja yang saat itu bermukim di negaranya atau tidak dalam keadaan safar. Ayat ini tidak menyuruh “harus melihat bulan”.

Berikutnya kita lihat tafsir Ath-Thabaari:

اختلف أهل التأويل في معنى شهود الشهر . فقال بعضهم : هو مقام المقيم في داره , قالوا : فمن دخل عليه شهر رمضان وهو مقيم في داره فعليه صوم الشهر كله , غاب بعد مسافر أو أقام فلم يبرح

Para ahli tafsir berbeda dalam arti para saksi bulan. Beberapa dari mereka mengatakan: Itu adalah posisi orang yang tinggal di rumahnya. Mereka berkata: Jika datang kepadanya bulan Ramadhan saat dia tinggal di rumahnya, maka dia harus berpuasa sebulan penuh.

Atau:

هو إهلاله بالدار . يريد إذا هل وهو مقيم

Itu bulan sabit untuk yang berada di rumah. Maksudnya jika dia adalah penduduk.

Ada banyak lagi pendapat dalam tafsir Ath-Thabaari ini, tapi semuanya mengacu pada kewajiban berpuasa bagi yang mendapati bulan Ramadhan dan dia bermukim di negaranya atau di lingkungannya sendiri, bukan dalam keadaan safar.

Intinya, tidak ada yang mengatakan “harus melihat bulan”.

Lalu yang mengatakan “harus lihat bulan” itu dari ayat mana alasannya?

Nah, mungkin ada yang bisa membantu menjawab?

Referensi:

  1. https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/2?from=185&to=185
  2. https://quranyusufali.com/2/
  3. https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya185.html
  4. https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura2-aya185.html#tabary

Ibadah, hilal, akurasi dan musyawarah

Ibadah itu seharusnya dipermudah, bukan malah dipersulit.

Untuk arah kiblat pun, cukup kita perkirakan semampu kita. Di luar itu kalau ada salah-salah sedikit, Insya Allah dimaafkan.

Sekali lagi, ibadah itu seharusnya dipermudah, bukan malah dipersulit.

Penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal juga sama. Kita perkirakan semampu kita saja. Di luar itu kalau ada salah-salah sedikit, Insya Allah dimaafkan.

Sebaiknya kita belajar dari negara2 maju dalam menentukan kalendar Masehi. Mereka sepakat untuk menentukan bahwa jumlah hari dalam setahun itu tidak bulat 365 hari, melainkan 365.25 hari. Lalu sisa yang 0.25 hari itu nanti akan dibulatkan menjadi 1 hari dalam tahun kabisat yang dimunculkan setiap 4 tahun sekali. Artinya, hitungan satu tahun tidak perlu terlalu akurat.

Ummat Islam yang diajari untuk musyawarah juga seharusnya bisa melakukan hal seperti ini. Derajat hilal tidak perlu terlalu presisi tidak apa-apa, karena arah kiblat salah sedikit juga dimaafkan. Yang lebih penting adalah, kita bisa musyawarah atau tidak? Masa sudah 1444 tahun, kalendar Hijriyah masih beda satu hari di lokasi yang berdekatan?

Intinya, tidak harus sempurna dalam akurasi, tapi lakukanlah secara bersama, dalam jamaah yang rapi.

Pendukung hilal 3 derajat, 2 derajat, 1 derajat atau 0 derajat, buanglah ego masing-masing. Jangan sampai kalendar Hijriyah makin tergerus oleh teknologi, dan makin ketinggalan zaman, hanya karena ego dari masing-masing kelompok.

Apa kita tidak malu melihat ummat Islam hanya sibuk membicarakan kalendar Hijriyah saat Ramadhan dan Syawal saja?


Di bawah, artikel tentang arah kiblat sebagai salah satu referensi.

https://islam.nu.or.id/shalat/haruskah-shalat-menghadap-persis-ke-kabah-D7QCJ

Perdebatan Hisab vs Ru’yat

Selama ini, ummat Islam hanya diajak sibuk untuk menentukan awal ibadah saja. Ini yg membuat ummat Islam menjadi negara dunia ketiga saat ini, ketinggalan di semua sisi. Karena semua hanya berfikir tentang ibadah saja.

Cobalah lihat sekeliling. Saat ini semua sistem perbankan, sistem komputer, sistem penentuan waktu, bahkan kalendar di HP kita, semuanya menggunakan kalendar Masehi, dan kalendar Hijriyah hanya “numpang” saja. Seperti inilah ummat Islam saat ini, hanya “numpang” dan tidak pernah bisa jadi pemain utama.

Kenapa bisa begini?

Karena kita hanya berfikir tentang ibadah saja.

Harusnya kita berfikir jauh ke depan, bagaimana caranya agar kalendar hijriyah bisa digunakan oleh ummat Islam dalam kesehariannya. Kalau kita mau memikirkan hal ini, pasti akan kita sadari, bahwa dunia digital di masa depan harus berdiri di atas sistem perhitungan (hisab), bukan berdiri di atas sistem lihat bulan (ru’yat). Bagaimana mungkin kita bisa punya sistem digital yang kuat kalau tiap bulan selalu sibuk dengan melihat bulan?

Yang mewajibkan ru’yat, apakah punya keinginan untuk membuat kalendar hijriyah digital untuk ummat Islam masa depan?
Atau cukup seperti sekarang, kita sibuk dengan penentuan ibadah saja, dan kalendar Hijriyah biarlah tetap “numpang” di dunia modern ini?

Mari kita pikirkan.